Simulasi penanggulangan dan penyelamatan kebakaran di bangunan lembaga pendidikan
Data Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta menyebutkan jumlah bangunan tinggi dengan klasifikasi lebih dari delapan lantai berjumlah hampir 900 gedung. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 20 persen bangunan tinggi yang sudah memenuhi Sistem Keselamatan Kebakaran (SKK). Sangat riskan, bila bangunan gedung tersebut terjadi kebakaran. Tahapan apa saja yang harus dilakukan pengelola gedung agar bangunannya itu memenuhi standar keselamatan kebakaran?
Kepala Seksi Inspeksi Bidang Pencegahan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta, Deny Andrias, mengatakan, ada beberapa tahapan yang harus ditempuh pengelola gedung agar bangunannya itu dinyatakan telah memenuhi standar sistem keselamatan kebakaran. Berikut lebih jelas petikan wawancaranya:
Apa saja kriteria sebuah bangunan tinggi dikatakan sudah memenuhi sistem keselamatan kebakaran?
Saya ingin menjelaskan terlebih dulu tentang klasifikasi keselamatan kebakaran pada bangunan tinggi. Pertama, tentang Sistem Proteksi Kebakaran. Kedua, Sistem Keselamatan Kebakaran. Ketiga, Manajemen Keselamatan Kebakaran Gedung (MKKG). Kalau Sistem Proteksi Kebakaran, globalnya itu disebut Building Safety Code. Untuk Sistem Keselamatan Kebakaran, dinamakan Fire Safety Code. Memang beda-beda tipis. Maksudnya, ojeknya sama, yaitu proteksi aktif dan pasif. Yang membedakan adalah sasarannya, yaitu terkait keselamatan aset gedung dari risiko kebakaran agar tidak ada korban jiwa bagi mereka yang melakukan mobilisasi di gedung.
Tupoksi yang dilakukan Seksi Inspeksi Bidang Pencegahan DPKP DKI Jakarta terkait langkah persuasif agar bangunan tinggi menerapkan Sistem Keselamatan Kebakaran?
Ada lima kategori yang kita awasi, yaitu proteksi aktif, proteksi pasif, sarana penyelamatan jiwa, akses penanggulangan kebakaran dan penyelamatan, dan manajemen keselamatan kebakaran gedung (MKKG). Target goal-nya, jangan sampai ada korban jiwa ketika terjadi kebakaran. Itulah yang menjadi tanggung jawab DPKP DKI Jakarta. Menjamin keselamatan jiwa warga DKI Jakarta atau warga yang memobilisasi di DKI dari risiko kebakaran ketika mereka beraktivitas di bangunan gedung.
Sementara terkait Sistem Proteksi Kebakaran, targetnya jangan sampai terjadi kebakaran di bangunan gedung. Hal ini menjadi tanggung jawab pengelola gedung. Jika kita baca NFPA 101 tentang Fire Safety Code, disebutkan tentang pencegahan terjadinya korban jiwa. Kebakaran bisa kapan saja terjadi, tapi jangan sampai terjadi korban jiwa.
Karena itu, sebuah bangunan gedung harus memiliki fasilitas proteksi keselamatan kebakaran, seperti akses pemadam kebakaran, sistem hidran, sprinkler, alarm, fire proteksi khusus untuk penanggulangan kebakaran pada objek berbahan kimia, gudang arsip, atau di laboratorium.
Nah, tugas DPKP DKI Jakarta mengontrol terhadap keselamatan kebakaran. Khusus untuk bidang Pencegahan, fokus pada bangunan gedung yang target goal akhirnya adalah keselamatan jiwa serta menyelamatkan aset gedung. Karena, ketika gedung itu beroperasi dengan baik, artinya terbebas dari bahaya kebakaran, maka dapat mempengaruhi ekonomi DKI Jakarta. Misalnya dari penerimaan pajak dari beroperasinya bangunan gedung. Jika terjadi kebakaran, aktivitas bangunan itu berhenti beroperasi, rugi juga dampaknya.
Bangunan gedung di Jakarta (ilustrasi)
Kontrol yang dilakukan kepada bangunan gedung?
Kita mengontrol dari gedung itu belum dibangun atau baru direncanakan, sampai bangunan itu beroperasi. Saat baru direncanakan, kita terlibat dalam Sidang PPIB (Pusat Promosi dan Informasi Bisnis), yang produk akhirnya pemberian IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Seharusnya gedung yang ingin dibangun baru bisa mendapatkan IMB setelah ada persetujuan dari Dinas Pemadam terkait Perencanaan Sistem Proteksi Kebakaran Bangunan Gedung. Setelah mendapatkan IMB, kontrol kita selanjutnya adalah pada saat kontruksi. Kita harus mengawasi dan mengarahkan pembangunan instalasi proteksi kebakaran sesuai dengan yang ditentukan. Pembangunan kontruksi ini diatur dalam Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2008.
Setelah masa kontruksi, kontrol kita cukup luas. Kita juga mengontrol instalatur atau kontraktor yang melakukan pengerjaan instalasi proteksi kebakaran di bangunan gedung. Berdasarkan amanat Perda Nomor 8 Tahun 2008 kita harus melakukan kontrol dengan mengeluarkan rekomendasi yang layak kepada instalatur. Jadi, di situ ada kontrol kita terhadap pelakunya, terhadap hasil pekerjaannya, termasuk menyangkut instalasi. Barang-barang yang digunakan untuk instalasi juga kita kontrol di laboratorium. Apakah barangnya itu sudah layak sesuai standar yang ditentukan.
Jika sampai tahap itu Sistem Proteksi Kebakarannya sudah baik, berarti tugas instalator atau kontraktor selesai. Selanjutnya, kita melakukan kontrol pemilik gedung atau pengelola gedung berdasarkan hasil hasil pekerjaan dari kontraktor. Setelah kita berikan rekomendasi hasil pekerjaan kontraktor, tahap selanjutnya yang dibutuhkan oleh pengelola gedung adalah pemberian Izin Instalasi Proteksi Kebakaran di Pelayan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Jadi, rekomendasi yang kita keluarkan dari tahap awal tadi, sebagai salah satu pertimbangan apakah dikeluarkan izin tersebut.
Setelah gedung mendapatkan izin, dan gedung ingin beroperasi, tetap kita kontrol. Tujuannya, agar pengelola gedung menjamin Sistem Proteksi Kebakaran Gedungnya bisa berjalan secara baik selama 24 jam. Kalau belum yakin, kita tidak boleh menyetujui diterbitkannya Sertifikat Layak Fungsi yang dikeluarkan di PTSP. Pada tahap ini, kita memerika lima ketentuan tersebut, yaitu proteksi aktif, proteksi pasif, keselamatan jiwa, akses penanggulangan kebakaran dan penyelamatan, dan perencanaan MKKG.
Dalam jangka berapa lama pengelola gedung memberikan laporan pemeliharaan Sistem Proteksi Kebakaran Gedung?
Perda Nomor 8 Tahun 2008 disebutkan laporan itu disampaikan setahun sekali. Jadi, masa berlaku SLF itu satu tahun. Setiap satu tahun harus di-update, harus diperpanjang.
Terlepas masa perpanjangan itu, kadang bisa saja terjadi terjadi eror dari Sistem Proteksi Kebakaran Gedung. Bisa saja belum lama gedung ini dibangun, terjadi kebakaran. Sementara Dinas Pemadam tidak mungkin mengotrol setiap hari. Maka, diamanatkan dalam Perda Nomor 8 Tahun 2018, harus memiliki Pengkaji Teknis Sistem Proteksi Kebakaran.
Tenaga Pengkaji Teknis ini dari mana?
Dari profesional, dari pihak swasta. Namun, keberadaannya hingga saat ini sangat minim. Boleh dibilang belum ada yang difungsikan sebagai Pengkaji Teknis.
Apaka karena syarat menjadi Pengkaji Teknis terbilang sulit?
Bukan dari syarat, tapi kualifikasi untuk menjadi tenaga Pengkaji Teknis memang sangat berat. Mereka harus memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang dikeluarkan oleh PU. Yang sudah ada sekarang adalah tenaga Fire Safety Manager. Kita memahaminya orang dalam gedung yang bertanggung jawab mengawasi, mengontrol, sistem keselamatan kebakaran berfungsi baik selama 24 jam.
Saya, permasalahan ini menjadi PR berat yang harus kita benahi. Kita sadar betul, sistem ini harus benar-benar diawasi selama 24 jam. Maka, sangat penting dilakukan pengontrolan dari pihak internal gedung itu sendiri. Butuh kesadaran dan kepatuhan dari mereka, untuk kepentingan mereka juga. Namun, kesadarannya masih kurang, karena safety masih dianggap beban biaya. Belum dipandang sebagai pelindung investasi.
Tenant punya hak menuntut kepada pengelola gedung jika mengetahui bangunan itu lalai dalam hal Sistem Keselamatan Kebakaran Gedung?
Harusnya tenant bisa menuntut pengelola gedung terhadap kepastian keselamatan mereka, dan keselamatan investasi mereka. Karena itu, menjadi tugas Pemerintah DKI untuk memberikan informasi yang sebenarnya kepada pengelola gedung serta tenant. Jika gedung itu tidak memiliki SLF, tenant berhak tahu. Sebagai pertimbangan mereka untuk menganalisa bila ingin menyewa gedung tersebut.
Ketentuan tidak diperpanjang pemberian SLF?
Kalau sistem kontrol dan regulasi kita sebenarnya sudah bagus. Semuanya saling terkait, saling mendukung. Tinggal dipelaksanaannya dari penegakan peraturan ini. Di sisi lain, jumlah tenaga di Bidang Pencegahan masih minim, khususnya di Seksi Inspeksi. Kami hanya didukung tiga staf, dua inspekur, dan satu kepala seksi. Kami harus mengontrol 900-an bangunan tinggi di DKI Jakarta, bisa dibayangkan sendiri pembagian tugas pengontrolannya seperti apa.